Beranda | Artikel
Dulu Raja, Sekarang Rakyat Biasa
Selasa, 1 April 2014

Oleh: Wim Permana, S. Kom.

Di dunia ini tidak ada yang abadi. Sebuah perusahaan yang dulunya raja di bidangnya, kini perlahan turun kastanya. Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran: 26–27 tentang kehendak bebas-Nya untuk mengangkat dan menurunkan para penguasa, juga berlaku di dunia teknologi. RIM (Research in Motion) salah satu contohnya.

Meskipun rubrik ini bertajuk “Ngopi di Silicon Valley”, tapi saya tidak membatasi diri hanya pada topik-topik seputar perusahaan di Lembah Silikon. Rugi sekali kalau begitu. Karena ada begitu banyak perusahaan di luar California, atau bahkan di luar Amerika Serikat, yang pergerakannya justru sangat mempengaruhi strategi bisnis perusahaan-perusahaan di Lembah Silikon. Salah satu perusahaan besar yang layak masuk kategori itu adalah Research in Motion alias RIM. Perusahaan teknologi yang kantor pusatnya di Kanada ini adalah “ibu kandung” BlackBerry, ponsel cerdas ratusan juta penduduk bumi saat ini. Anda, pembaca setia Majalah Pengusaha Muslim, mungkin salah satunya.

RIM, DULU INOVATOR

Ketika RIM didirikan pada dekade 1980-an, Mike La-zaridis dan rekan-rekan merasakan nikmatnya – sekaligus tegangnya – berada di lingkungan perusahaan berstatus “sang inovator”. Sewaktu RIM mengeluarkan BlackBerry mungkin tidak sedikit orang yang mencerca konsep tombol QWERTY dan trackball khasnya.

Apa? QWERTY dan trackball? Memangnya orang mau menulis novel atau laporan tahunan di ponsel mereka? Dan itu masih belum cukup. Kritik lain juga datang menghinggapi konsep BBM (BlackBerry Messenger) dan sistem lalu lintas data antar-BlackBerry mereka yang membutuhkan server terdedikasi untuk menjalankannya.

Hei? Bagaimana dengan keamanan data para penggunanya? Bukankah ini memberikan peluang RIM untuk mengakali penggunanya sendiri? Dan seterusnya.

Walau kritik dan keraguan terus berdatangan, RIM tetap melaju. RIM tetap merilis dan menjual produknya: BlackBerry. Apa pun pendapat para pengamat tentang RIM. Salah satu alasan kuat yang membuat insinyur-insinyur elektro asal Kanada itu tetap bersemangat dengan konsep mereka semula adalah target pasar BlackBerry sendiri. Yakni kalangan korporat. Bagi RIM, kalangan berdasi dan berdompet tebal inilah konsumen empuk untuk produk ponsel cerdasnya. Selain tech-savvy, biasanya kalangan korporat juga suka dengan hal-hal berbau eksklusivitas. Dengan kata lain, kalangan ini cenderung menyukai keunikan pada barang-barang yang mereka gunakan. Tidak terkecuali pada ponsel.

Seiring berjalannya waktu, BlackBerry yang terkenal dengan keypad QWERTY, trackball, push email, dan server terdedikasi, justru melesat kencang. Di dunia korporat di seluruh dunia, demam BlackBerry mulai mewabah. Perusahaan-perusahaan besar di AS yang terkenal sangat cinta dengan kecanggihan, ternyata juga bisa menerima konsep ponsel cerdas BlackBerry buatan insinyur dari negara tetangganya. Begitu pula di Eropa dan Asia. Semua orang tampaknya gila dengan QWERTY di Curve atau Bold.

Di Indonesia, hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi. BlackBerry, yang awalnya hanya mewabah di kalangan segelintir eksekutif muda yang berkantor di kawasan Sudirman atau Kuningan, ternyata justru merambat ke seluruh lapisan masyarakat. Awalnya demam BB – sebutan khusus BlackBerry di negeri ini – memang hanya menjangkiti kota-kota besar di Indonesia, dengan pemakai utamanya adalah sebagian besar orang berpendapatan tinggi seperti anggota Dewan, direktur perusahaan dan artis ibukota.

Tapi, entah kenapa, perlahan namun pasti, tren menggunakan BB mampu membius masyarakat di daerah lain yang dari segi administratif pun sebenarnya belum layak disebut kota metropolitan.

Bila dulu BB hanya dipakai kalangan tertentu, sekarang ceritanya berbeda. Hari ini BB tidak hanya dipakai anggota Dewan yang kaya. Tetapi juga oleh mahasiswa atau pelajar SD, SMP, SMA yang masih mengais uang dari orangtuanya. Bahkan yang lebih lucu, banyak juga pengangguran di negeri ini yang memakai BB. Singkat kata, di Indonesia, BlackBerry sedang dalam masa-masa turun. Bukan volume penjualannya, melainkan citranya. Ini berbahaya, karena hal serupa juga pernah dialami beberapa produk bermerek terkenal di Indonesia. Contoh Dagadu. Dulu kaos Dagadu sempat sangat terkenal di Gorontalo dan beberapa kota besar lain di Indonesia. Tapi lambat laun popularitasnya menurun. Bukan karena kualitas bahan kaos dan sablonnya, melainkan tempat memperolehnya. Konsumen mencintai kaos Dagadu yang hanya bisa dibeli secara eksklusif di Yogya. Tapi kini tidak terjadi lagi. Kaos Dagadu bisa juga dibeli di pasar tradisional atau mall. Konsumen pun mulai berpandangan lain.

RIM, KABARMU KINI

Dari Kanada, berdasarkan laporan kuartal terakhir per Maret 2012, perusahaan yang juga merambah pasar tablet dengan seri Playbook ini dikabarkan sedang mengalami masa-masa yang tidak bagus. RIM mengalami kerugian 125 juta dolar AS atau sekitar Rp 1 triliun (asumsi 1 dolar AS = Rp 8.500). Jumlah yang tidak sedikit, tentunya. Selain itu, jumlah BlackBerry yang dikapalkan juga menurun. Yakni hanya 11,1 juta handset. Turun 21% dibandingkan kuartal sebelumnya.

Untuk membuat keadaan tambah sulit, laporan menyedihkan seperti itu justru muncul saat para pesaingnya justru mengalami pasang naik luar biasa. Apple, yang berada di balik iPhone dan iOS, dikabarkan berhasil meraup pendapatan yang meningkat sampai 133%. Begitu pula Android yang didukung Google beserta hampir semua vendor ponsel terkemuka, semua mengalami peningkatan.

SEKARANG RIM FOLLOWER

Setidaknya memang begitu. Sejak Steve Jobs merilis iPhone pada 2007 dengan konsep layar sentuh total – yang sangat berseberangan dengan konsep QWERTY pada ponsel BlackBerry – plus dirilisnya ponsel G1 berbasis Android oleh T-Mobile dan Google setahun berikutnya, banyak kalangan yang dulunya mendukung RIM dengan BB-nya kemudian berbalik haluan. Salah satu senjata maut andalan Apple dan Google untuk memukul BlackBerry adalah dari sisi ketersediaan aplikasi alias App. Apple lebih dulu melesat dengan Apple Apps Store. Sementara Google melaju kemudian dengan Google Play (dulunya Android Market). Kedua ekosistem pasar aplikasi inilah yang diyakini menyebabkan ponsel cerdas seperti BlackBerry dirasa tidak cerdas lagi. Setidaknya tidak secerdas dulu ketika pesaingnya hanya Nokia dengan Symbian-nya atau feature phone dengan sistem operasi BREW-nya.

Lucunya, konsumen juga melihat RIM seperti panik dan kebakaran jenggot. Perusahaan yang dulunya berstatus inovator, sekarang malah berbalik sebagai pengikut. Saat ini, apa-apa yang dirilis RIM tampaknya sudah tidak orisinal lagi. Ponsel layar sentuh seri Storm yang mirip iPhone, tablet layar sentuh Playbook yang mirip iPad dan Motorola Xoom, kemudian yang terakhir, aksesori keyboard untuk Playbook yang juga mengingatkan orang pada keyboard milik Asus Transformer. Suka atau tidak suka, beberapa device tadi adalah contoh sekaligus bukti nyata bahwa RIM sepertinya sudah lupa dengan apa yang mereka lakukan puluhan tahun lalu: Menjadi Inovator!

Wahai pengusaha Muslim, jangan cepat lengah dengan kesuksesan sekarang. Keep inovating, or you’ll be dying!

Sumber: Majalah Pengusaha Muslim

***

Dapatkan produk terbaru e-Magazine (Majalah Pengusaha Muslim berbentuk digital) kunjungi: shop.pengusahamuslim.com
Dan majalah Pengusaha Muslim edisi Cetak: majalah.pengusahamuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2932-dulu-raja-sekarang-1557.html